Hari Raya Galungan & Kuningan, Kemenangan Dharma melawan Adharma

Selasa, 28 Agustus 2012 | komentar





Umat Hindu Bali saat ini merayakan Hari Raya galungan dan kuningan, hari raya ini diperingati setiap sapta wara budha, panca wara kliwon dan wuku Dunggulan.Nah, buat kalian yang bukan agama hindu, apa salahnya dong kalau kalian tahu apa arti dari hari raya galungan dan kuningan. walaupun kita berbeda tetapi tetap satu !, okeh ?
Biar gak terlalu banyak basa basi langsung simak aja !

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

———

Rentetan Hari Raya Galungan, sebenarnya sudah dimulai dari jauh-jauh hari sebelumnya. Diawali dengan 25 hari sebelum hari raya Galungan, adanya Tumpek Uduh, yang merupakan penghormatan kepada Tuhan atas karunianya dari hasil Tumbuh-tumbuhan. Diharapkan buah yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan ini, dapat dipergunakan pada saat perayaan Hari Raya Galungan. Kemudian pada hari Kamis, 6 hari sebelum hari raya Galungan adalah hari raya sugihan jawa, sebagai pertanda pembersihan buana agung atau dalam istilahnya mengembalikan kesadaran kita akan keseimbangan yang terjadi di alam semesta beserta isinya. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Kemudian sehari setelah itu Jumatnya adalah hari raya Sugihan Bali, sebagai pertanda pembersihan terhadap buana alit, atau dalam istilahnya bagaimana kita membersihkan diri kita masing-masing baik secara sekala maupun niskala, dan mempertajam trikaya parisudha, yaitu berkata yang baik, berfikir yang baik, dan berprilaku yang baik. Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Hari senin, dua hari sebelum hari raya Galungan adalah hari raya Penyajahan Galungan. Pada hari penyajahan ini, umat biasanya mempersiapkan berbagai jenis kue/ jajanan yang diperlukan untuk sesajen yang akan dipersembahkan pada saat hari raya Galungan. Tradisi ini dilakukan oleh para ibu-ibu beserta anak perempuannya, sehingga jenis kue yang diperlukan turun temurun masih bisa dikenal oleh para generasi penerus. Dan H-1 adalah hari raya Penampahan Galungan. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh para lelaki. pada hari penampahan, umat akan melakukan penyembelihan terhadap hewan Babi, sebagai simbolis bahwa kita bisa menghilangkan sifat-sifat kebinatangan dalam diri kita masing-masing. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melara. Babi yang dipotong ini nantinya sebagian akan dipergunakan sebagai pelengkap dalam sesajen seperti pembuatan sate galungan yang mempergunakan sebagian komponen dari daging babi, dan sebagian lagi bisa dinikmati oleh umat yang pengolahan dagingnya ini bisa untuk berbagai jenis masakan Bali, seperti : dipergunakan untuk membuat masakan lawar, urutan, babi kecap, tum, pesan, sere pepel, timbungan, oret, dll. Pada saat Penampahan Galungan juga biasanya umat melakukan aktifitas lainnya seperti membuat penjor, dan mecenigan (menghias merajan, memasang wastra untuk pelinggih di merajan).
Maka tibalah saatnya Budha Kliwon Dunggulan adalah Hari Raya Galungan itu sendiri. Disini umat akan melakukan persembahyangan di pura khayangan tiga, beserta di pura pedharman/ leluhur masing-masing. Pada hari raya inilah merupakan kesempatan bagi berkumpulnya seluruh anggota keluarga untuk melakukan persembahyangan dan melakukan silahturahmi dan peningkatan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan. Belum selesai sampai disini, keesokan harinya adalah hari raya manis galungan yang biasanya dipergunakan bagi anggota keluarga yang sudah berkumpul untuk saling mengunjungi sanak keluarga yang lainnya untuk bersilahturahmi. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah.  2 hari setelah hari raya Galungan adalah hari raya pahing Galungan. Pada hari ini, umat akan melakukan pembersihan kembali terhadap perabotan tempat sesajen, tempat suci, dll sebagai persiapan untuk menyambut datangnya Hari Raya Kuningan yang hanya berselang 10 hari setelah hari raya Galungan.
Sebelum menyambut hari raya Kuningan, juga sama terdapat rentetan hari raya sebelumnya, yaitu : Penyajahan Kuningan, Penampahan Kuningan, Kuningan, Manis Kuningan, dan Pahing Kuningan. Aktifitas yang dilakukan pada rentetan upacara ini kurang lebih sama seperti yang dilakukan sebelumnya untuk menyambut hari raya Galungan. Hari raya Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan (210 hari sekali), tapatnya sepuluh hari Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogan Hyang Widhi turun ke dunia dengan diiringi oleh para dewa dan pitara pitari. Hyang Widhi datang dengan melimpahkan karunia-Nya kepada umat manusia. Pada hari Kuningan umat hendaknya menghaturkan bakti dan memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir batin.
Pada hari Kuningan, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yang berwarna kuning. Hal ini bertujuan sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan serta kemakmuran yang dilimpahkan Hyang Widhi. Pada hari yang sama, umat juga membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang di padmasana, merajan dan penjor.
Ada sedikit yang berbeda perayaan Galungan dengan Kuningan, dimana pada saat kita melaksanakan upakara Kuningan tidak diperkenankan melewati batas siang hari. Akan muncuol pertanyaan : Perayaan Hari Kuningan agak spesial, yaitu hanya dilakukan sampai siang hari saja. Mengapa?
Pagi hari pada waktu suasana alam masih relatif tenang, merupakan saat yang sangat tepat untuk melakukan Meditasi. Karena itu kita melakukan Puja Tri Sandya pada pagi hari (saat Brahma Muhurta )
Suasana hening menghasilkan Ka – Uningan untuk memperoleh jnana yang baik, suatu pengetahuan suci spiritual.
Pengetahuan yang kita miliki bisa diperoleh dengan tiga cara yang disebut dengan Tri Pramana yaitu :
a. Agama Pramana : Mendengarkan ajaran para Guru yang diajarkan secara oral.
b. Anumana Pramana yaitu dengan menggunakan akal, daya pikir dan logika kita.
c. Pratyaksa Pramana yaitu dengan melihat langsung hal hal yang bersifat rohani.
Pada Hari Kuningan bermakna agar kita Ka-uningan untuk memperoleh pengetahuan dharma (samya jnana). Hal ini bisa diperoleh dengan menggunakan Dasendriya yaitu Panca Budhindriya dan Panca karmendriya yang juga disimbulkan dengan adanya 10 hari antara hari Galungan dan Kuningan. Pengetahuan tersebut berupa Tattwa .
Hasil akhir yang ingin dicapai adalah tercapainya Suddha Jnana yaitu pikira suci, untuk menjadi orang yang Jayabaya ( menang dalam menghadapi semua halangan/ marabahaya).
Kita selalu diharapkan untuk menggali ke dalam diri masing masing sesuai dengan makna kajeng Kliwon yang juga terletak di tengah pangider ider. Jadi hendaknya kita kembali ke dalam diri yang sejati sebagaimana tujuan hidup kita yakni Moksatham ja gadhita ya Cai thi Dharma. Hari Kuningan merupakan momentum untuk mengingatkan kita untuk selalu mencari pengetahuan yang suci untuk mengenali diri kita yang sejati.
—–
Sebenarnya banyak tradisi yang dilakukan oleh umat Hindu Bali di masing-masing daerah untuk menyambut ataupun merayakan Hari raya Galungan dan Kuningan. Seperti salah satunya adalah adanya tradisi “Nglawang”, yang mempergunakan Barong. Nglawang ini adalah menarikan Barong yang dimiliki masing-masing desa, berkeliling batas desa ataupun lebih, dengan dilosopi untuk bahwa Dharma sudah menang melawan Adharma, Kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan. Dimana Barong merupakan simbolis dari Kebaikan/ Dharma.
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2012. Komang ZONES - All Rights Reserved
Created by Komang ZONES